Jumog Waterfall
Selang 4 bulan setelah mencoba
menapaki spot spot daerah jawa
tengah, saat nya untuk sedikit menapaki di daerah solo – jawa tengah.
Bertepatan dengan schedule bulanan
yang ‘sengaja’ pulang untuk mengobati rindu akan kampung – orang tua, saudara,
rumah, tetangga, bahasa, cuaca, air, udaranya yang emang nggak terlalu jauh
sama daerah solo – 2 jam perjalanan. Bukan nggak mungkin kalo hanya untuk
menapaki daerah solo, terutama di kawasan kaki Gunung Lawu.
Menyusun planning itu udah pasti, mulai dari waktu berangkat, destinasi
wisatanya, kendaraan dan terutama temen main – navigator. Biar nggak terlalu
lama karena padat jadwalnya, jadi planning
keberangkatan dari rumah lebih pagi – bahkan memang harus pagi.
Pukul 06.15, keluar rumah dengan
menenteng tas selempang, ber rautkan muka yang nggak beda sama abis bangun
tidur. Panasin motor, cek kelengkapan – surat surat, kondisi motor (pastikan
aman) dan langsung go. Memakan waktu
kurang lebih 45 menit (kondisi pagi hari) sampai di tempat meet point – jemput navigator. Dan menunggu persiapan si navigator
itu kurang lebih 1 jam – huft.
Pukul 08.37, meninggalkan meet point dan langsung gas to destinasi
– Kemuning. Perjalanan awal dirasa capek tarik gas karena mengikuti jalan yang
cukup mudah – lurus terus sampai nggak sadar kalo semakin keliatan pemandangan
dari Gunung Lawu semakin jelas dan juga perbedaan suhu yang semakin dingin.
Setelah kurang lebih melewati jalan yang berkelok kanan – kiri, jalan tanjakan
– sedikit turunan, dan sedikit menghindari lubang lubang di aspal, sampai juga
di daerah Kawasan Wisata Air Terjun Jumog – destinasi. Perjalanan kurang lebih
memakan waktu 1 jam, 08.37 – 09.49 wib.
Air tejun jumog, itulah tulisan
yang terpampang di pintu masuk dan spanduk di jalur pejalan menuju air terjun. Air
terjun yang nggak punya kawah ini merupakan ‘surga yang tersembunyi’ begitu lah
julukan yang pernah saya baca di salah satu artikel yang membahas tentang air
terjun yang satu ini. Air terjun yang biasanya dibawahnya (titik jatuh air) ini
digunakan untuk mandi/berenang, namun di air terjun jumog ini tidak saya
temukan, yang ada hanya batu yang cukup besar di dekat jatuhnya air. Namun kalo
hanya untuk main main air saja, terdapat aliran air yang jernih mungkin disitu
bisa ‘sedikit’ bermain dengan air. Tak khayal banyak orang datang untuk
menikmati ‘percikan’ air yang jatuh itu hingga membasahi permukaan kulit
mereka. Tidak sedikit dari para pengujung yang mengabadikan dengan memilih menjadikan
background dalam foto album mereka. Nah,
yang agak saya pikirkan itu air yang jatuh dan mengalir dibawahnya tetap jernih
meskipun cuaca di bulan itu sedang sering hujan, setiap setelah matahari mulai
meninggi dan sedikit condong ke barat, di waktu itulah matahari mulai tenggelam
tertutup mendung yang menyisakan turunnya hujan.
116 anak tangga. Ini juga menjadi
tantangan oleh para pengunjung sebelum menikmati indahnya air terjun. Keindahan
tidak semata mata muncul instan begitu saja, perlu ada pengorbanan/usaha untuk
mencapainya. Mungkin kata kata itu pas untuk menggambarkan betapa susahnya
menuruni 116 anak tangga yang kondisinya kurang safe (licin) karena embun dari
air terjun itu. Tapi setelah berhasil menuruni 116 anak tangga itu, maka mata
akan di buat menatap lebih lama dari biasanya.
‘Ojo lali nge rem atau jangan lupa nge rem/injak rem’. Slogan yang
menjadi fokus dan menyita perhatian saya ini karena slogan itu terbilang unik
dan nggak kepikiran – mungkin. Slogan yang saya dapatkan pas posisi saya pulang
dari tempat itu. Di salah satu jalan pulang, terpampang kata kata itu di
pinggir jalan dekat dengan pematang sawah – mbolak.
Slogan itu memang pas untuk menjadi pengingat para pengunjung/pengendara yang menuruni
jalanan turun yang begitu panjang, dan juga sedikit rame oleh lalu lalang
masyarakat sekitar. Menjadi pengingat untuk senantiasa waspada dan tetap fokus
dalam berkendara – tetap safety driving.
0 komentar:
Posting Komentar